Minggu, 20 Maret 2011

HIV dalam Kehamilan dan Persalinan


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah nama untuk virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Dalam ilmu biologi, yang dimaksud dengan virus adalah parasit yang berperilaku sebagai makhluk hidup ketika berada pada jaringan hidup, termasuk jaringan pada tubuh manusia, hewan, tumbuhan, jamur, dan bakteri. Khususnya bagi manusia, sebagian besar virus dapat menjadi agen penyakit tertentu.  Di antara penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, AIDS merupakan penyakit yang saat ini paling ditakuti orang karena sejauh ini obat untuk penyakit AIDS belum berhasil ditemukan.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV tersebut. Gejala tersebut diantaranya demam, keringat malam hari, lesu, ruam, nyeri kepala, lymphadenopathia, pharyngitis, nyeri otot, mual dan muntah serta diare. Infeksi virus HIV secara perlahan menyebabkan tubuh kehilangan kekebalannya oleh karenanya berbagai penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh. Akibatnya penyakit-penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi bahaya bagi tubuh.
slowly but deadly“, pelan tapi mematikan itulah julukan untuk virus penyakit yang satu ini. HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan bagi manusia, bahkan hingga saat ini belum ditemukan obat untuk mengatasi penyakit yang menyerang sistem kekebalan manusia itu. Cara penularan virus tersebut bisa melalui caira sperma atau vagina dengan berhubungan seksual, penggunaan jarum suntik bersama dari orang yang sudah terinfeksi HIV, transfusi darah yang terkontaminasi virus HIV, dan dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya.
Orang yang terinfeksi HIV biasanya dapat hidup bertahun-tahun tanpa menunjukkan tanda-tanda penyakit. Mereka mungkin tampak sehat dan merasa sehat tetapi dapat menularkan virus pada orang lain. Pengobatan hanya akan membantu Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA) untuk hidup lebih lama tetapi penyakit AIDS sendiri belum dapat disembuhkan tetapi dapat ditekan jumlah HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
Dari uraian diatas telah menyebutkan, bahwa salah satu penularan HIV/AIDS yaitu dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya. Penularan HIV dari ibu ke anak merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia, seperti 25 sampai 35% dari semua bayi yang ibunya tidak diobati memiliki suatu strain virus menjadi terinfeksi. Tragisnya, angka ini diterjemahkan menjadi sekitar setengah juta bayi yang lahir setiap tahun sudah didiagnosis dengan HIV.
Menurut suatu penelitian, sekitar 120.000 sampai 160.000 perempuan di Amerika Serikat diperkirakan telah terinfeksi HIV. Sekitar 6.000 sampai 7.000 perempuan terinfeksi HIV melahirkan setiap tahunnya. Sejak awal epidemi HIV / AIDS, sekitar 15.000 anak-anak di Amerika Serikat telah terinfeksi HIV dan 3.000 anak meninggal.   Di Indonesia sendiri, jumlah perempuan hamil yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat. Menurut perkiraan DepKes RI sekitar 7000 perempuan hamil terinfeksi HIV setiap tahun. Niat untuk hamil dan mempunyai anak perlu didengarkan dan dicarikan jalan keluarnya agar pasangan yang HIV negatif tidak tertular HIV begitu juga anak yang dikandung. Salah satu cara untuk mengurangi risiko penularan pada pasangan suami HIV positif dan istri HIV negatif.  Perempuan HIV positif yang hamil akan menghadapi risiko keadaan yang tidak diinginkan seperti abortus spontan, kematian janin dalam kandungan, pertumbuhan janin yang terhambat, berat badan bayi rendah, bayi premaur dan korioamneitis. Selain itu berbagai infeksi menular seksual seperti kandidiasis vulvovaginal, vaginosis bacterial, herpes genital, gonorea, sifilis dapat menyertai kehamilan pada perempuan HIV positif. Risiko penularan pada masa kehamilan sekitar 7%, pada proses kelahiran 15% serta penularan melalui air susu ibu sekitar 13%. Melalui upaya pencegahan yang lengkap risiko ini dapat diturunkan hingga menjadi hanya 2%.
Ibu denganHIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular dengan mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV), menjaga proses kelahiran yang singkat dan menghindari menyusui. Penggunaan ARV, risiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya 1-2 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT selama enam bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu pertama hidupnya. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini, yaitu AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir dan satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya, semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan. Untuk mengurangi risiko penularan, proses persalinan dapat dilakukan dengan operasi sesar. Menghindari menyusui,  kurang-lebih 14 % bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula). Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan ASI).
Jika dites HIV, sebagian besar bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini berarti ada antibodi terhadap HIV dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi dari ibunya, agar melindunginya sehingga sistem kekebalan tubuhnya terbentuk penuh. Jadi hasil tes positif pada awal hidup bukan berarti si bayi terinfeksi. Jika bayi ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya akan membentuk antibodi terhadap HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan hasil positif. Jika bayi tidak terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang sehingga hasil tes menjadi negatif setelah kurang-lebih 6-12 bulan. Sebuah tes lain, serupa dengan tes viral load dapat dipakai untuk menentukan apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu setelah lahir. Tes ini, yang mencari virus bukan antibodi, saat ini hanya tersedia di Jakarta, dan harganya cukup mahal.
            Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif. Namun, terapi jangka pendek untuk mencegah penularan pada bayi bukan pilihan terbaik untuk kesehatan ibu. ART adalah pengobatan baku. Jika seorang perempuan hamil hanya memakai obat waktu persalinan, kemungkinan virus dalam tubuhnya akan menjadi resistan terhadap obat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan masalah untuk pengobatan lanjutannya.
Seorang ibu hamil sebaiknya mempertimbangkan semua masalah yang mungkin terjadi terkait ART, seperti jangan memakai ddI bersama dengan d4T dalam ART-nya karena kombinasi ini dapat menimbulkan asidosis laktik dengan angka tinggi, jangan memakai efavirenz atau indinavir selama kehamilan, bila CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai nevirapine. Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti pengobatannya pada triwulan pertama kehamilan, karena risiko dosis dilewatkan akibat mual dan muntah selama awal kehamilan dengan risiko mengembangkan resistansi terhadap obat yang dipakai, Risiko obat mengakibatkan anak cacat lahir, yang tertinggi pada triwulan pertama, tidak ada bukti terjadi cacat lahir, selain dengan efavirenz. Para ahli tidak sepakat apakah penggunaan ART menimbulkan risiko lebih tinggi terhadap lahir dini atau bayi lahir dengan berat badan rendah.
Jika kita HIV-positif dan dalam keadaan hamil, atau ingin  hamil, sebaiknya kita bicara dengan dokter tentang pilihan menjagakan kesehatan sendiri, dan mengurangi risiko bayi kita terinfeksi HIV atau cacat lahir.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar